SAHABAT
Aku pernah melihat foto dalam
facebook seorang teman, foto itu kira2 intnya bertuliskan “Sahabat adalah
seseorang yg tidak bertolak belakang antara dua sisi, saat di depan dan di
belakangmu”. Aku rasa opini itu benar. Sahabat memang selalu ada buat kita,
kita pun selalu ada buat dia. Bicara soal sahabat, Aku punya seorang teman yang
mengaku dan terus berkoar-koar kalau kita sahabatan. Ia seatap denganku di
tempat tinggalku sekarang, bahkan kami sekamar. Awalnya sih aku sependapat
dengannya. Tapi belakangan aku kok merasa persahabatan yang diproklamasikan dia
hanya sebatas maaf “omongan sampah”. Kok begitu? Iya, soalnya perilaku dia tak
mencerminkan seorang sababat. Saat ia bicara seakan dia sebagai sahabat yang
cetar membahana lah pokonya..hehe,
Tapi bila ingat kelakuannya
kepadaku, sesuatu buanget. Padahal aku rasa aku sudah sebisa mungkin
memperlakukan dia laiknya seorang sahabat betulan. Ya karena salah satu
indikator sahabat kan seperti tulisan dalam foto yg saya temukan di FB. “Sahabat
adalah seseorang yg tidak bertolak belakang antara dua sisi, saat di depan dan
di belakangmu”. Tersebab Aku
sependapat dengan kata2 itu, makanya aku berusaha sekuat mungkin untuk
merealisasikan kata2 itu. Ia berbuat jelek yang hanya aku yang mengetahui, tapi
di depan orang lain ku katakan baik. Kurang apa sih?
Entah, apa dia juga pernah buka
FB dan lihat tulisan itu apa gak. Mungkin ia belum pernah lihat. Atau kalaupun
sudah pernah lihat, ia memang bukan sahabat ku. Ah, pusing juga mikirin
dia. Toh dia belum tentu mikirin aku, betul kan?
Masih belum yakin kalau ia hanya
mengobral “persahabatan” padaku? OK, aku kasih bukti sedikit. Suatu kali aku,
dia, dan teman2 qt yg lain sdg berdiskusi/belajar bareng. Kebetulan aku yg
memimpin diskusi tersebut. Namanya saja belajar bareng, jadi ya gda yang
berlaku sebagai “guru”. Karena gak ada yang menggurui dan digurui, yang ada
hanyalah sama2 belajar. Jadi wajar bilamana aku –sebagai pemimpin diskusi- ada
yg tidak aku ketahui tentang materi diskusi. Saat peserta diskusi tidak
menemukan jawaban yang tepat, kesempatan terakhir untuk menjawab ada padaku.
Tapi aku berkata jujur, aku pun belum mengetahui jawaban dari satu persoalan
itu. Eh, dia malah tiba2 nyolot dengan mengatakan kalau seharusnya aku yg
memimpin wajib mengetahui jawabannya dan ia mengejekku di depan teman2 lain.
Itukah seorang sahabat?
Kejadian lain, suatu kali aku
baru berangkat ke semarang (kota domisili sekarang) dari rumah. Saat mendekati
–kira2 1 Km- tempat tinggal kita, motorku mogok. Mungkin ‘masuk angin’ karena
di sepanjang perjalanan aku terobos air hujan. Motorku mogok tepat di jalan
tanjakan, masih gerimis, dan malam-malam pula jd bengkel sdh tutup. Lebih parah
lagi, aku gak bawa alat komunikasi (HP) sebab HP ku baru saja saya jual saat di
rumah.
Ketika mogok itulah, aku bingung
sekali. Untung aku sudah mencatat nomor2 penting -yg sewaktu2 bisa ku hubungi-
di selembar kertas. Salah satu nomor itu adalah nomor temanku yg ngaku2 sahabat
tsb. Aku beranikan diri meminjam HP orang yg tak ku kenal dan meminta satu SMS
yg ku kirim ke nomor teman seatapku itu. Bermaksud meminta pertolongannya untuk
menjemput aku. Eh, ditunggu lama malah gak nongol2, padahal malam semakin
larut. Akhirnya karena jurus kepepet, maka aku mencoba memperbaiki busi
motorku, barangkali businya basah yang jd penyebab mogok. Padahal sebelumnya
aku belum pernah ngotak-ngatik motor, apalagi sampai mencopot busi. Tapi
berbekal pengalaman pernah lihat orang mencopot busi motor, maka aku putuskan
berusaha sendiri. Setelah sekian lama, alhamdulillah akhirnya motorku bisa
jalan lagi. Sambil menahan isi kepalaku yg mau meledak karena kecewa temanku
-yg ku anggap sahabat jg- tak kunjung menolong dan menjemputku, aku pun
menjalankan motorku untuk melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di tempat kos ku, aku
dapati temanku sedang enak2an menonton film di leptopnya. Melihat perangainya,
kini kepalaku serasa menegeluarkan asap dan mau meledak saja, saking
dongkolnya. Aku percaya dia, menunggunya, mengiba bantuannya, dan bersusah
payah memperbaiki motor mogok sendiri. Dia justru bersenang2 begitu. Apalagi
saat aku pulang dia tak merasa salah
sedikitpun. semakin lengkap busur panah yang kau tancapkan di hatiku, temanku !
Karena teramat kekecewaanku
padanya, kejadian malam itu plus tingkahnya pun aku abadikan dalam rentetan bait
puisi.
Dan, kali ini sekali lagi dia
menciderai arti “persahabatn”. Maka, aku semakin yakin jika ocehan
“Persahabatan” antara aku dan dia hanyalah “omongan sampah”, tiada guna !
Semarang, 2 januari 2014