Minggu, 09 Februari 2014

SAHABAT


SAHABAT
Aku pernah melihat foto dalam facebook seorang teman, foto itu kira2 intnya bertuliskan “Sahabat adalah seseorang yg tidak bertolak belakang antara dua sisi, saat di depan dan di belakangmu”. Aku rasa opini itu benar. Sahabat memang selalu ada buat kita, kita pun selalu ada buat dia. Bicara soal sahabat, Aku punya seorang teman yang mengaku dan terus berkoar-koar kalau kita sahabatan. Ia seatap denganku di tempat tinggalku sekarang, bahkan kami sekamar. Awalnya sih aku sependapat dengannya. Tapi belakangan aku kok merasa persahabatan yang diproklamasikan dia hanya sebatas maaf “omongan sampah”. Kok begitu? Iya, soalnya perilaku dia tak mencerminkan seorang sababat. Saat ia bicara seakan dia sebagai sahabat yang cetar membahana lah pokonya..hehe,
Tapi bila ingat kelakuannya kepadaku, sesuatu buanget. Padahal aku rasa aku sudah sebisa mungkin memperlakukan dia laiknya seorang sahabat betulan. Ya karena salah satu indikator sahabat kan seperti tulisan dalam foto yg saya temukan di FB. “Sahabat adalah seseorang yg tidak bertolak belakang antara dua sisi, saat di depan dan di belakangmu”.  Tersebab Aku sependapat dengan kata2 itu, makanya aku berusaha sekuat mungkin untuk merealisasikan kata2 itu. Ia berbuat jelek yang hanya aku yang mengetahui, tapi di depan orang lain ku katakan baik. Kurang apa sih?
Entah, apa dia juga pernah buka FB dan lihat tulisan itu apa gak. Mungkin ia belum pernah lihat. Atau kalaupun sudah pernah lihat, ia memang bukan sahabat ku. Ah, pusing juga mikirin dia. Toh dia belum tentu mikirin aku, betul kan?
Masih belum yakin kalau ia hanya mengobral “persahabatan” padaku? OK, aku kasih bukti sedikit. Suatu kali aku, dia, dan teman2 qt yg lain sdg berdiskusi/belajar bareng. Kebetulan aku yg memimpin diskusi tersebut. Namanya saja belajar bareng, jadi ya gda yang berlaku sebagai “guru”. Karena gak ada yang menggurui dan digurui, yang ada hanyalah sama2 belajar. Jadi wajar bilamana aku –sebagai pemimpin diskusi- ada yg tidak aku ketahui tentang materi diskusi. Saat peserta diskusi tidak menemukan jawaban yang tepat, kesempatan terakhir untuk menjawab ada padaku. Tapi aku berkata jujur, aku pun belum mengetahui jawaban dari satu persoalan itu. Eh, dia malah tiba2 nyolot dengan mengatakan kalau seharusnya aku yg memimpin wajib mengetahui jawabannya dan ia mengejekku di depan teman2 lain. Itukah seorang sahabat?
Kejadian lain, suatu kali aku baru berangkat ke semarang (kota domisili sekarang) dari rumah. Saat mendekati –kira2 1 Km- tempat tinggal kita, motorku mogok. Mungkin ‘masuk angin’ karena di sepanjang perjalanan aku terobos air hujan. Motorku mogok tepat di jalan tanjakan, masih gerimis, dan malam-malam pula jd bengkel sdh tutup. Lebih parah lagi, aku gak bawa alat komunikasi (HP) sebab HP ku baru saja saya jual saat di rumah.
Ketika mogok itulah, aku bingung sekali. Untung aku sudah mencatat nomor2 penting -yg sewaktu2 bisa ku hubungi- di selembar kertas. Salah satu nomor itu adalah nomor temanku yg ngaku2 sahabat tsb. Aku beranikan diri meminjam HP orang yg tak ku kenal dan meminta satu SMS yg ku kirim ke nomor teman seatapku itu. Bermaksud meminta pertolongannya untuk menjemput aku. Eh, ditunggu lama malah gak nongol2, padahal malam semakin larut. Akhirnya karena jurus kepepet, maka aku mencoba memperbaiki busi motorku, barangkali businya basah yang jd penyebab mogok. Padahal sebelumnya aku belum pernah ngotak-ngatik motor, apalagi sampai mencopot busi. Tapi berbekal pengalaman pernah lihat orang mencopot busi motor, maka aku putuskan berusaha sendiri. Setelah sekian lama, alhamdulillah akhirnya motorku bisa jalan lagi. Sambil menahan isi kepalaku yg mau meledak karena kecewa temanku -yg ku anggap sahabat jg- tak kunjung menolong dan menjemputku, aku pun menjalankan motorku untuk melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di tempat kos ku, aku dapati temanku sedang enak2an menonton film di leptopnya. Melihat perangainya, kini kepalaku serasa menegeluarkan asap dan mau meledak saja, saking dongkolnya. Aku percaya dia, menunggunya, mengiba bantuannya, dan bersusah payah memperbaiki motor mogok sendiri. Dia justru bersenang2 begitu. Apalagi saat aku pulang dia tak  merasa salah sedikitpun. semakin lengkap busur panah yang kau tancapkan di hatiku, temanku !
Karena teramat kekecewaanku padanya, kejadian malam itu plus tingkahnya pun aku abadikan dalam rentetan bait puisi.
Dan, kali ini sekali lagi dia menciderai arti “persahabatn”. Maka, aku semakin yakin jika ocehan “Persahabatan” antara aku dan dia hanyalah “omongan sampah”, tiada guna !
Semarang, 2 januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar