Harga BBM, Antara Kebijakan dan
Kemiskinan
Keputusan yang akan diambil Pemerintah ikhwal kenaikan
harga BBM kembali menyulut api kriktikan dari pelbagai pihak. Kebijakan
ini dirasa akan lebih mencekik leher rakyat Indonesia daripada pembatasan
subsidi BBM. Khususnya bagi masyarakat kalangan ekonomi menengah kebawah.
Alih-alih ingin mensejahterakan rakyat, bisa-bisa
malah menyengsarakan masyarakat. Sungguh ironis bila menengok tindhak-tandhuk para wakil rakyat. Saat semua
kepala masyarakat sedang dipusingkan dengan gurita BBM, mereka (pemerintah)
justru sibuk bersolek.
Memperelok gedung dinilai menjadi hal yang lebih
urgen dibanding kesejahteraan rakyatnya. Terbukti belakangan terakhir,
ada kontroversi terkait renovasi gedung Banggar DPR yang memakan dana
sampai angka miliyaran rupiah. Jika alasan menaikkan harga BBM karena
menghemat APBN. Lalu, mengapa mereka menghamburkan uang hanya untuk
merenovasi gedung pemerintahan?
Pemerintah Ragu-Ragu
Polemik BBM sebetulnya sudah terjadi sejak lama.
Pada awal tahun ini Pemerintah juga sempat akan 'menelurkan' kebijakan
subsidi BBM. Dengan berasaskan pada UU nomor 22 tahun 2001 pasal 28
ayat 3, tentang BBM subsidi. Pemerintah mencanangkan program pembatasan
subsidi BBM.
Dalam hal ini, mereka mengupayakan agar BBM digunakan
sehemat mungkin. Dengan jalan setiap mobil selain angkutan umum dan
sepeda motor, dilarang menggunakan premium. Atau, mobil pribadi bisa
juga memakai gas sebagai bahan bakarnya. Asumsi Pemerintah ialah
bahwa anggaran subsidi BBM (bila dihemat), bisa dimanfaatkan guna memenuhi
kebutuhan lain yang dapat meningkatkan hajat hidup orang banyak. Bidang
kesehatan dan pendidikan adalah yang menjadi bidikan pemerintah.
Akan tetapi, seperti biasanya sekali lagi pemerintah
tidak percaya diri dalam mengambil keputusan. Mereka seakan ragu-ragu
akan mengesahkan kebijakan ini. Lalu munculah opsi menaikkan harga BBM.
Dan, opsi itu ternyata lebih diperhitungkan dari pada pembatasan susidi
BBM. Barulah pada tanggal 1 April 2012 ditetapkan harga BBM akan dinaikkan
yang tadinya 2.500/liter menjadi 6.000/liter.
Awalnya, pemerintah secara getol berusaha mengamandemen
RUU APBN-P 2012 dengan mengusulkan penambahan Pasal 7 ayat 6 A. Pasal
tersebut memberi keleluasan bagi pemerintah untuk menyesuaikan harga
BBM bersubsidi. Baik itu pemerintah akan meninggikan harga BBM ataukah
akan menurunkan harganya, semua wewenang Pemerintah.
Namun, setelah ada kejadian demonstrasi besar-besaran
yang kebanyakan dilakukan mahasiswa akhir maret lalu. Agaknya pemerintah
mulai menimbang-nimbang terkait kebijakan kenaikan harga BBM. Menindaklanjuti
tuntutan berbagai pihak, akhirnya pemerintah menggelar sidang paripurna
guna membahas polemik kenaikan BBM di gedung DPR.
Hasilnya, pemerintah memilih untuk mem-pending dahulu rencana menaikkan harga
bahan bakar minyak. Semestinya, jika sesuai jadwal maka tepat pada tanggal
1 April kemarin masyarakat sudah bisa 'menikmati' kenaikan harga BBM.
Betapa malangnya nasib rakyat
bilamana kebijakan kenaikan BBM benar-benar teralisasi. Naiknya harga
BBM dapat berdampak pada kenaikan harga sembako dan tingginya ongkos
transportasi yang tak bisa ditawar lagi. Padahal alur perekonomian nasional
pun belum kunjung membaik, apalagi jika ditambah masalah harga BBM yang
semakin jauh dari kantong rakyat. Implikasinya, naiknya angka pengangguran
dan kemiskinan pun tak terelakkan.
Penulis kira pemerintah tak usah gegabah dalam mengambil
keputusan. Apapun keputusannya, asal tak 'melukai' masyarakat itu sah-sah
saja. Kebijakan yang pro rakyat tentunya adalah harapan semua lapisan
masyarakat kaum ekonomi menengah kebawah khususnya, dan seluruh warga
negara Indonesia pada umumnya.
Agus Sopar Abdurrochim, mahasiswa PBA Fakta IAIN Walisongo Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar