Minggu, 20 Maret 2011

pendidikan agama islam


A. 1. Manusia tercipta di dunia tentunya ada tujuannya, yakni menghamba kepada-Nya seperti dalam firman Allah:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ    
 Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(Al-Dzariyat: 56).
Maka dalam menjalankan kewajiban sebagai seorang hamba pastinya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang dibuat-Nya. Namun tidaka dapat dipungkiri, kita sebagai makhluk yang biasa. Mempunyai nafsu dan keinginan pastinya tidak selalu hidup kita baik dan benar. Bahkan mungkn selalu buruk dan salah, apalagi ditambah semakin kompleksnya tata kehidupan di dunia ini. Jika manusia hidup bebas tanpa adanya pegangan atau patokan yang dapat dijadikan tolak ukur maka apa yang akan terjadi? Jika boleh menganalogikan, ketika kerbau berada di tanah lapang akan tetapi ia tidak diikat pada suatu pohon atau lainnya, maka sudah barang tentu ia akan berlari-lari tanpa adanya tujuan pasti. Begitu pula dengan manusia yang hidup di dunia fana ini, jika ia hidup tanpa adanya suatu aturan atau pedoman maka sudah selazimnya hidupnya tidak terkendali.
Dijelaskan oleh Quraish Shihab bahwa dalam hidup, manusia mudah terombang-ambing oleh perbenturan dan arus zaman yang cenderung melanggar aturan Tuhan. Perbenturan dan arus zaman itu adalah sebuah metafora dari daya tarik harta, wanita, dan tahta yang dalam bahsa agama disebut dengan “tipu daya dunia” yang membuat orang lupa daengan tujuan hidupnya. Tipu daya dunia inilah yang mabuk harta dan kedudukan, rakus, individualistis, tanpa memerhatikan aturan moral dan etika yang dijunjung tinggi oleh manusia beradab.[1]
Karena agama adalah tata tertib yang mengatur hubungan antara makhluk dengan Kholiknya. Ia mengandung petunjuk-petunjuk hidup manusia duniawi dan ukhrawi. (Abu Jamin Roham, 1992). Maka agama sangatlah urgen bagi manusia untuk mengarungi mahligai hidup ini. Serta oleh sebab agama itu adalah fitrah (QS. Ar-Rum:30), maka pasti ptunjuknya tidak ada yang bertentangan dengan jati diri dan naluri manusia. Kalaupun ada maka cepat atau lambat akan ditolak oleh penganutnya sendiri, dan ketika itu terbukti bahwa ia bukan fitrah. ia tidak boleh dan tidak perlu dipaksakan, seperti firman Allah:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (QS.Al-Baqarah: 256).
Agama merupakan faktor terpenting dalam hidup seseorang. Hal ini jelas dari peranan yang dimainkan oleh agama dalam hidup; agama itu menentukan orientasi hidup manusia, baik individu maupun hidup bermasyarakat.[2] Dan agama adalah the problem of ultimate conern: masalah yang mengenai kepentingan mutlak setiap orang.[3]

2. Ketika manusia sudah beragama, maka wajiblah baginya untuk taat dan patuh dengan apa saja yang menyangkut agama yang ia anutnya. Perlu diketahui bahwa dalam sberagama, seyogyanya kita megerti atas unsur-unsur atau aspek - aspek perilaku beragama. Diantaranya yaitu unsur pengalaman dan unsur penghayatan. Keduanya sangat erat hubungannya dengan unsur dalam perilaku beragama lainnya, yakni unsur kebaktian (credo), ibadah (ritual), dan sosial. Karena unsur pengalaman itu sama halnya dengan unsur ibadah, serta unsur penghayatan sama halnya dengan unsur sosial.
Pada dasarnya ketiga unsur tersebut, yaitu kebaktian(credo), ibadah (ritual), serta sosial saling berhubungan satu sama lain. Ketiganya diasumsikan dengan tiga ajaran pokok islam. Iman, islam, dan ihsan. Lebih jelasnya lagi seperti terlihat di bawah ini:
a.         Kebaktian / credo/ akidah/ iman,
b.Pengalaman/ ritual/ syariat/ islam, dan
c.         Penghayatan/ sosial/ akhlak/ihsan.   
Sebenarnya sejak sebelum lahir, manusia telah mengakui Tuhannya (beriman).Dalam Alqur’an disebutkan,
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ  
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. Al- A’raf: 172).
Setelah manusia beriman, maka ia dituntut untuk melakukan ritual atau ibadah sesuai apa yang diperintahkan Tuhan. Kemudian barulah manusia masuk dalam tahapan penghayatan terhadap apa yang telah ia yakini. Contohnya konkretnya ialah ketika seorang sudah iman atau percaya kepada Allah (kebaktian), maka ia menuruti apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya (ibadah), dan barulah saat ia beribadah hendaknya menghayati dari apa yang lakukan kemudian diimplementasikan dengan perbuatan nyata (sosial).    

3. Kata Al-Din berasal dari fi’il madhi Daana  yang asalnya Dayana kemudian ya’ diganti alif menjadi Daana, kata Daana dalam kamus al-Munawir disebutkan punya masdar Dainan dan Diinan yang berarti hutang. Jadi kata Al-Din dikatakan punya arti hutang, karena manusia sudah berjanji kepada Allah untuk mengesakan-Nya. Maka janji itulah yang menjadi hutang manusia saat di dunia, seperti ayat yang sudah disebutkan di atas (QS. Al-A’raf: 172). Jadi apabila mereka melakukan dosa meraka akan membayar hutangnya dengan siksaan Allah.
Lebih jauh lagi, sebenarnya Al-Din itu mempunyai beberapa arti, di antaranya:
a.   Al-Jaza wal Al-Mukafah
b.   Al-Hisab
c.   Yaumul qiyamah
d.   Al-Dain, seperti penjelasan di atas.
Menurut Muhammad Fauzi dalam bukunya “Agama dan Realitas Sosial”, terdapat banyak kata Al-Din di dalam alqur’an dan kesemuanya tidak berhenti pada makna agama belaka. Namun banyak makna atau arti yang muncul dari kata Al-Din tersebut, di antaranya; di dalam surat Al-Fatikhah: 4(maliki yaumiddin) bermakna “pengadilan”, surat Yusuf: 76 (…maa kaana liya’khudza akhohu fi din…) bermakna “undang-undang” atau “peraturan”, surat Al-Maun: 1(aroaital ladzii yukaddzibu bid din) bermakna “agama”. Oleh karena itu kata Al-Din mengandung makna yang sangat luas, tidak hanya mengandung makna agama islam.

4. Agama-agama sebelum Muhammad disebut juga agama islam. Mengapa? Karena semua agama yang dibawa rasul sebelum Nabi Muhammad mengajarkan untuk tunduk dan berserah diri kepada Allah, maka cocok dengan kata islam yang berarti berserah diri atau tunduk, seperti terlansir dalam firman Allah,
 øŒÎ) tA$s% ¼ã&s! ÿ¼çmš/u öNÎ=ór& ( tA$s% àMôJn=ór& Éb>tÏ9 tûüÏJn=»yèø9$# ÇÊÌÊÈ   4Óœ»urur !$pkÍ5 ÞO¿Ïdºtö/Î) ÏmÏ^t/ Ü>qà)÷ètƒur ¢ÓÍ_t6»tƒ ¨bÎ) ©!$# 4s"sÜô¹$# ãNä3s9 tûïÏe$!$# Ÿxsù £`è?qßJs? žwÎ) OçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡B ÇÊÌËÈ  
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam".
Dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".(QS. Al-Baqaarah: 131-132).




 B.     Dalam pendekatan terhadap pengesaan Allah, di sini ada tiga pendekatan yang dilakukan para ulama,yaitu:[4]
a. Pendekatan teologis,
                        Pendekatan ini lebih mengutamakan wahyu, barulah mereka menggunakan akalnya (dalam mencari keesaan Allah). Pelakunya disebut mutakalimin. Berangkat dari sinilah muncul aliran/ paham-paham, seperti contohnya asy’ariyah, mu’tazilah, maturidiyah, dsb. 
b. Pendekatan filusufis,
                        Kebalikan dari asspek teologis, aspek ini lebih mengedepankan akal, kemudian dikontekskan dengan alqur’an. Sebenarnya pemikiran filusufis masuk ke dalam islam melalui filsafat Yunani, yang dijumpai ahli-ahli fikir islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir. Kebudayaan dan falsafat Yunani dating ke daerah-daerah itu dengan ekspansi Alexander yang agung ke Timur (abad ke- 4 sebelum Kristus).  Politik alexaander untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia meninggalkan bekas besar di daerah yang pernah dikuasainya. Kemudian muncullah filosofiyin dari islam, di antara contohnya Al-Kindi, Al-Farabi. 
c. pendekatan sufistik,
Dari tiga pendekatan diatas, ada salah satu aspek pendekatan yang paling sakral di antara aspek yang lainnya. Inilah yang disebut Al-Tasawuf atau Sufism. Sufism ialah istilah dalam penggunaan misticisme dalam islam. Berbagai teori dimajukan tentang Al-Tasawuf dan Al-Sufi. Teori yang banyak diterima ialah bahwa istilah itu berasal dari kata sufi yaitu wol. Para ulama yang mengesakan Allah melalui aspek ini, disebut mutashowifin. Mereka cenderung menggunakan ذِهْنٌ  (hati), dan hati ini terbagi menjadi dzulmani dan nurani. Nurani inilah yang mengantarkan seseorang menjadi ma’rifatullah. Contohnya seperti Jalaludin Al-Rumi, Rabi’ah Al-‘Adawiyah.  



                                                                                   




[1] Muhammad Fauzi, Agama dan Realitas Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 20.

[2] Muhammad fauzi, Ibid., hlm. 19
[3] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 39.
[4] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 31-71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar